Mola Pondok Indah itu di mana, Bung? Tentu saja belum tercantum dalam atlas Jakarta mana pun. Mol Pondok Indah? Tak juga. Mal Pondok Indah? Ada yang menyalin begitu. Mall Pondok Indah? Ini hanya masuk akal dalam bahasa Indonggris.
Mol, mal, atau mall? Terserahlah! Kawula sampai penggawa di sini tak bakal punya alasan memilih salah satu sebab keajekan berdasar nalar dalam alih bunyi ke aksara belum menyusup sampai di sumsum.
Dari mana pula mola? Nah, ini gagasan Ayatrohaedi. Ada ball ada bola, ada mall ada mola. Suang, bukan? Mari belajar menyusun ketentuan memungut kata-kata sileban berdasarkan pola. Ini yang dikenal sebagai analogi. Namun, analogi bukanlah visa cuma-cuma buat menyerap semua (x)all dalam Inggris menjadi (x)ola dalam Indonesia. Call tak perlu diadopsi jadi kola, misalnya, sebab jodoh kata benda ini ditemukan hampir dalam semua bahasa di dunia.
Demi memasarkan gagasan almarhum Mang Ayat yang berdasar nalar itu, saya pakai mola. Janggal? Semula ya, lama-lama lumrah juga. Tinggal tunggu waktu. Kalau waktu masih belum berpihak kepada Mang Ayat, serapan mall yang paling dekat mestinya mol sebab banyak orang membunyikannya: m-o-l. Ortografi yang tepat sesuai dengan ucapan kebanyakan kita setakat ini untuk kata Inggris itu niscayalah mol.
Di jembatan penyeberangan utara maupun selatan yang menghubungkan dua mola terpisah oleh jalan di bilangan Pondok Indah, Jakarta terpampang tulisan gede berwarna biru menantang: Pondok Indah Mall. Hanya itu! Tak ada sandingannya: entah Mal Pondok Indah, entah Mol Pondok Indah, entah Mola Pondok Indah. Bingung juga saya. (Bingung saya, berada di Jakarta atau di mana?) | Where’s the Pondok Indah Mola, mate? Of course you won’t find it in any atlas of Jakarta yet. Pondok Indah Mol? Nor that. Pondok Indah Mal? Some write it like that. Pondok Indah Mall? That would only make sense if you were speaking Englishdonesian.
Mol, mal or mall? Take your pick! Neither a servant nor a supervisor here could ever find a good reason to choose one over another because switching consistently from sounds to script based on instinct hasn’t filtered down to our collective subconscious yet.
Where did ‘mola’ come from? Well, it’s Ayatrohaedi’s idea. We’ve got ball and 'bola', so why not mall and 'mola'? Simple isn’t it? Let’s learn to develop rules for assimilating foreign loan words based on patterns. It’s called analogy. But analogy isn’t a free pass to incorporate all English words ending in ‘all’ by keeping the sound of the first letter and changing them into Indonesian words ending in ‘ola’. ‘Call’ doesn’t need to be adopted as ‘kola’, for example, because that particular noun has a very close friend that’s found in almost every language of the world.
To promote the late Ayat’s instinct-based idea, I use ‘mola’. Sounds weird? Yes, in the beginning it does, but after a while it’ll catch on. It’s just a matter of time. If time hasn’t smiled on Ayat yet, the closest assimilated form of mall should be ‘mol’ because lots of people pronounce it: m-o-l. The correct orthography based on how most of us pronounce the English word so far is certain to be ‘mol’.
On the northern and southern overbridges connecting the two separate ‘mola’s bisected by a road in the Pondok Indah district of Jakarta, a sign with huge blue letters defiantly proclaims: Pondok Indah Mall. That’s it. There’s nothing alongside it: not even Pondok Indah Mal, Pondok Indah Mol or Pondok Indah Mola. I’m confused. (Am I in Jakarta, or somewhere else?)
|