Dua Teknik Dasar: perspektif penerjemah Indonesia

translation_articles_icon

ProZ.com Translation Article Knowledgebase

Articles about translation and interpreting
Article Categories
Search Articles


Advanced Search
About the Articles Knowledgebase
ProZ.com has created this section with the goals of:

Further enabling knowledge sharing among professionals
Providing resources for the education of clients and translators
Offering an additional channel for promotion of ProZ.com members (as authors)

We invite your participation and feedback concerning this new resource.

More info and discussion >

Article Options
Your Favorite Articles
Recommended Articles
  1. ProZ.com overview and action plan (#1 of 8): Sourcing (ie. jobs / directory)
  2. Réalité de la traduction automatique en 2014
  3. Getting the most out of ProZ.com: A guide for translators and interpreters
  4. Does Juliet's Rose, by Any Other Name, Smell as Sweet?
  5. The difference between editing and proofreading
No recommended articles found.

 »  Articles Overview  »  Art of Translation and Interpreting  »  Translator Education  »  Dua Teknik Dasar: perspektif penerjemah Indonesia

Dua Teknik Dasar: perspektif penerjemah Indonesia

By Harry Hermawan | Published  02/12/2007 | Translator Education | Recommendation:RateSecARateSecIRateSecIRateSecIRateSecI
Contact the author
Quicklink: http://ell.proz.com/doc/1148
Author:
Harry Hermawan
Ινδονησία
Αγγλικά σε Ινδονησιακά translator
Широкий ассортимент стрейч пленки пленка стрейч купить в москве http://streych-plenka-msk1.ru/.
 
View all articles by Harry Hermawan

See this author's ProZ.com profile
Dua Teknik Dasar: perspektif penerjemah Indonesia

Penerjemahan gampang-gampang susah. Mengapa?

Jika ada individu merasa dapat berbahasa dua misalnya bahasa Indonesia dan Inggris, dapat saja menjalankan aktivitas penerjemahan. Memang sungguh mudah.

Dua pendekatan yang dapat diimplementasikan saat memulai penerjemahan adalah mengambil posisi atau strategi dasar.

Yang Terdengar vs Yang Terlihat
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang manasuka. Namun, kemanasukaannya ini sungguh manasuka.
Seperti kata Shakespeare, “What’s in a name?”

Mau bunga mawar, ros, bunga merah tetap saja bunga. Rangkaian bunyi refleksi bunga tetap tidak dapat membuang keharuman, kemerahan, keelokan bunga.

Masalahnya bunyi “mawar” yang diucapkan dan yang terlihat dalam bentuk tulisan “mawar” ini dapat saja berubah tergantung dari mana yang dijadikan dasar pengalihan dari bahasa sumber ke bahasa target.

Contoh yang terdengar dan yang terlihat diperlihatkan seperti yang berikut ini. Pengalihan bahasa Inggris ke bahasa Melayu, “August” jadi “Ogos”, sementara “police” jadi “polis”.

Bahasa Indonesia memakai pendekatan yang terlihat. Misalnya “structure” jadi “struktur” bukan *”strakcer” atau “democracy” jadi “demokrasi” bukan *”demokresi”. Lagi-lagi “computer”/ “komputer”, “television”/”televisi”.

Dari para pencetus (baik yang mencetus EYD dan yang mengikuti) ada dorongan ingin mempertahankan bentuk secara kasat lewat huruf yang tidak jauh dari asli. Dan, kebanyakan kata pungutan ini lebih banyak dari bahasa Inggris.

Memang ada dari berbagai bahasa lain temasuk bahasa daerah yang masuk menjadi pembantu kata pungutan. Namun, serangan pengambilan bahasa pungutan lebih banyak dari bahasa Inggris. Apakah ini karena bahasa Inggris mendunia saat ini? Entahlah.

Namua ada paradoks jika bahasa Inggris ingin dikedepankan dan ingin diingat sebagai rujukan pengambilan bahasa pungutan mengapa bahasa Latin condong jadi pegangan? Apakah karena bahasa Indonesia disebut bahasa latin. Mungkin.

Terlepas dari ide awal para pengusung awal atau “founding fathers” tetap bahasa Indonesia lebih banyak mengambil pendekatan yang terlihat.

Contoh lain: Glossary (bahasa Inggris), cenderung diindonesiakan glosarium. Mengapa tidak glosari. Toh, “glossary” lebih dekat daripada “glosarium” sebagai fondasi. Mengapa “sites” jadi “situs” bukan *”saites”. Masih banyak contoh yang saat ini saya tidak bisa ungkapkan karena saya rasa Anda akan dapat lebih banyak memberikan contoh nyata yang terkini dan mutakhir.

Jadi, dari contoh sederhana, bahasa Inggris yang diindonesiakan memang mengambil pendekatan semacam ini.

Bila, Anda sebagai penerjemah tentu memiliki otoritas untuk menentukan “otherwise” atau berbeda. Tapi tentu kaidah mendasar yang patut jadi rujukan harus konsisten alias bisa tetap, namun lagi-lagi arus deras mayoritas akan membuat otoritas kita menjadi terikuti arus.

Bagaimana Anda memilih pendekatan terjemahan. Yang terdengar atau yang terlihat. Terserah Anda.


Copyright © ProZ.com, 1999-2024. All rights reserved.
Comments on this article

Knowledgebase Contributions Related to this Article
  • No contributions found.
     
Want to contribute to the article knowledgebase? Join ProZ.com.


Articles are copyright © ProZ.com, 1999-2024, except where otherwise indicated. All rights reserved.
Content may not be republished without the consent of ProZ.com.